https://jurnal.mahadalymudi.ac.id/index.php/Al-Nadhair/issue/feed Jurnal Al-Nadhair 2023-12-31T08:49:44+07:00 Dr. H. Helmi Imran, MA [email protected] Open Journal Systems Jurnal Al-Nadhair https://jurnal.mahadalymudi.ac.id/index.php/Al-Nadhair/article/view/42 Tindakan Main Hakim Sendiri Terhadap Pelanggar Syariat Islam Perspektif Hukum Adat Dan Hukum Islam 2023-12-30T04:46:57+07:00 Muhammad Rudi Syahputra [email protected] Muksalmina [email protected] Sari Yulis [email protected] <p>Main hakim sendiri merupakan tindakan untuk menghukum suatu pihak tanpa melewati proses yang sesuai hukum seperti pemukulan terhadap pelaku kejahatan yang dilakukan oleh suatu masyarakat. Main hakim&nbsp;&nbsp; sendiri&nbsp;&nbsp; selain&nbsp;&nbsp; merupakan&nbsp;&nbsp; perbuatan yang melawan hukum juga bertentangan dengan ajaran agama Islam. Dalam rangka pelaksanaan syariat Islam di Aceh dan mewujudkan kehidupan masyarakat adat yang bersendikan syariat Islam, perlu dilakukan telaah dan kajian yang mendalam tentang tindakan main hakim sendiri dalam kedudukan hukum adat dan hukum Islam. Dalam perspektif hukum adat, tindakan main hakim sendiri terhadap pelanggar syari’at Islam merupan tindakan melawan hukum dan bertentangan dengan asas-asas hukum adat dan hukum Islam. Tindakan main hakim sendiri termasuk dalam bentuk sanksi adat yang bertentangan dengan syari’at Islam. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Dalam perspektif hukum pidana Islam, tindakan main hakim sendiri termasuk perbuatan zalim yang bisa merugikan orang lain, dimana orang yang melakukan tindakan main hakim sendiri bisa digolongkan dalam tindak pidana pembunuhan <em>(‘amdu, syibhul ‘amd,</em> atau <em>khata’</em>) atau tindak pidana penganiayaan dengan melihat pada jenis perbuatan yang dilakukannya terhadap pelanggar syari’at Islam. &nbsp;</p> 2023-12-30T00:00:00+07:00 Copyright (c) 2023 Jurnal Al-Nadhair https://jurnal.mahadalymudi.ac.id/index.php/Al-Nadhair/article/view/41 Jual Beli Follower Dalam Pandangan Islam Studi Komparatif Antara Mazhab Syāfi’ĭyāh Dan Mālikĭyāh 2023-12-30T04:39:37+07:00 Murdani [email protected] <p>Jual beli <em>follower</em> adalah model perdagangan baru yang belum ada pada masa Nabi dan tidak dibahas juga secara spesifik oleh Ulama fiqh dalam berbagai kitab kuning. Dibalik sederhanaannya transaksi jual beli <em>follower</em> ada permasalahan aqad dalam proses transaksi, yakni tidak adanya keterbukaan kepada pembeli bahwa sebagian <em>follower</em> yang dijual adalah bot <em>follower</em> (akun pasif) dimana sewaktu waktu pihak dari Instagram dapat melakukan pembersihan terhadapap akun pasif tersebut. Selain itu pada <em>follower</em> jenis real human (akun aktif) sewaktu-waktu bisa meng-unfollow (berhenti mengikuti), sehingga transaksi seperti ini tentunya sangat merugikan pihak pembeli. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang tidak melibatkan perhitungan, atau diistilahkan dengan penelitian ilmiah yang menekankan pada karakter alamiah sumber data.&nbsp; Untuk mendapatkan data dengan sebaik-baiknya dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode kajian pustaka (liberary research), yaitu suatu penelitian yang memanfaatkan perpustakaan untuk memperoleh data penelitian.&nbsp; Dalam pengkajian ini menggunakan buku-buku dan kitab-kitab dan sumber-sumber hukum Islam yang relevan dengan pokok permasalahan. Adapun hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa, menurut perspektif Mażhab Syāfi’īyah dan Mālikīyah &nbsp;terjadi perbedaan pendapat. Dalam Mażhab Syāfi’īyah transaksi jual beli <em>follower</em> ini dikategorikan ke dalam jual beli gharar, sehingga jual beli tidak sah, karena tidak terpenuhi syarat dan rukun jual beli yaitu tidak jelasnya barang yang dipejualbelikan.&nbsp; Sedangkan menurut Mażhab Mālikīyah transaksi ini dibolehkan dengan syarat pembeli harus melakukan khiyar ru’yah (hak untuk melihat komoditi atau barangnya). Jika tidak bisa melakukan khiyar ru’yah maka jual beli <em>follower</em> ini juga menjadi batal atau tidak sah.&nbsp;</p> 2023-12-30T00:00:00+07:00 Copyright (c) 2023 Jurnal Al-Nadhair https://jurnal.mahadalymudi.ac.id/index.php/Al-Nadhair/article/view/40 Hasil Implementasi Qā’idah Dar’u Al-Mafāsid Muqaddam ‘Alā Jalb Al-Mashālih Pada Hukum Vaksinasi 2023-12-31T08:25:50+07:00 Muhammad Syauqi [email protected] Sufriadi Ishak [email protected] <p>Penelitian ini menyoroti pentingnya mempertimbangkan qā’idah dar’u al-mafāsid muqaddam ‘alā jalb al-mashālih dalam menilai hukum vaksinasi. Di satu sisi, vaksinasi dianggap sebagai langkah mencegah mafsadah berupa penyebaran penyakit yang dapat menciptakan pandemi. Namun, di sisi lain, masyarakat sering kali menghadapi keraguan terkait kehalalan vaksin dan ketakutan akan timbulnya penyakit baru setelah vaksinasi. Dalam merumuskan masalah, penelitian ini memfokuskan pada kriteria mashlahah (kebaikan) dan mafsadah (kerugian) dalam pandangan syariat, konsep penerapan qā’idah dar’u al-mafāsid muqaddam ‘alā jalb al-mashālih dalam fiqh, serta implementasi qā’idah tersebut pada hukum vaksinasi. Pendekatan analisis normatif digunakan dengan teknik pengumpulan data melalui kajian dokumentasi terhadap literatur hukum vaksinasi dari karya-karya fuqaha’ salaf al-shalih. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa qā’idah dar’u al-mafāsid muqaddam ‘alā jalb al-mashālih dapat dapat diterapkan dalam meninjau antara menolak <em>mafsadah</em> bahayanya virus covid-19 yang lebih diutamakan dari pada mengambil<em> mashlahah </em>menjaga dari obat vaksin yang mengandung unsur babi, karena sisi <em>mafsadah</em> bahayanya virus covid-19, disamping berpengaruh pada pribadi seseorang, juga berdampak penularan yang serius bagi masyarakat secara umum, maka kepentingan umum dan pribadi tentu harus lebih didahulukan dari pada kepentingan pribadi saja.&nbsp; Namun keputusan mengutamakan <em>mafsadah</em> bahaya virus covid-19 dengan penggunaan obat vaksin yang mengandung unsur najis tersebut harus disertai beberapa syarat, yaitu adanya keterpaksaan atau tekanan dari pemerintah, adanya <em>dharūrah syar'iyyah</em> (terdesak dengan keadaan) berdasarkan keterangan dari ahli yang kompeten dan dipercaya tentang bahaya covid-19, seperti tervonis zona merah dan lain-lain dan tidak ditemukan vaksin yang halal dan suci.</p> 2023-12-30T00:00:00+07:00 Copyright (c) 2023 Jurnal Al-Nadhair https://jurnal.mahadalymudi.ac.id/index.php/Al-Nadhair/article/view/39 Wewenang Hakam Dalam Menyelesaikan Sengketa Rumah Tangga (Syiqaq) Dalam Fiqh Syafi’iyyah 2023-12-29T09:16:38+07:00 Zahrul Mubarrak [email protected] Muhammad Irfan Nur [email protected] <p>Dalam masyarakat tidak jarang terjadi kegagalan suatu keluarga dalam membina rumah tangga. Terkadang perceraian dipandang menjadi jalan&nbsp; yang terbaik bagi kedua belah pihak setelah upaya perdamaian gagal diupayakan. Kewajiban hakim untuk mendamaikan pihak-pihak yang berperkara, sangat menganjurkan untuk menyelesaikan setiap perselisihan dan persengketaan melalui pendekatan. Akan tetapi suami istri tidak segera menyelesaikan atau oleh karena suami istri tidak menemukan cara pemecahan yang rasional maka hakim dalam Pengadilan Agama dapat mengangkat <em>Hakam</em> (juru damai). Timbullah tanda tanya bagaimana konsep hakam dalam perpektif mazhab Syafi’i. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan diskriptif analisis yaitu menggambarkan konsep dalam kajian fikih tentang otoritas <em>hakam </em>dalam menyelasikan perkara <em>syiqaq </em>di dalam mazhab Syafi’i. Teknik analisis data dilakukan dengan pendekatan <em>content analisis</em>. Adapun kesimpulan dalam penelitian ini adalah terjadi khilaf pandangan ulama mazhab Syafi’i mengenai konsep <em>hakam</em>, ada ulama yang berpendapat bahwa <em>hakam</em> pada posisi wakil dan ada ulama yang berpendapat bahwa <em>hakam</em> pada posisi hakim. Ulama Syafi’iyyah seperti Imam Al-Mawaridi telah menjelaskan bahwa hakam memiliki wawenang adalah memberikan solusi terbaik, kalau memang bisa untuk ishlah maka wajib melakukan. Kalau tidak mungkin maka boleh berpaling kepada cerai atau khulu’. <em>Hakam</em> tidak berhak untuk menceraikan suami istri. Namun kalau berdasarkan pendapat mereka adalah hakim, maka hakam memiliki hak untuk menceraikan keduanya. <em>Hakam</em> boleh untuk mewakili bagi suami istri atau salah satunya yang jauh. <em>Hakam</em> tidak boleh untuk mengambil hak suami istri untuk diserahkan kepada pihak yang lain tanpa izin mereka. <em>Hakam</em> tidak boleh untuk melakukan fasakh terhadap suami istri.</p> 2023-12-30T00:00:00+07:00 Copyright (c) 2023 Jurnal Al-Nadhair