https://jurnal.mahadalymudi.ac.id/index.php/Al-Nadhair/issue/feed Jurnal Al-Nadhair 2024-06-28T00:00:00+07:00 Dr. H. Helmi Imran, MA [email protected] Open Journal Systems Jurnal Al-Nadhair https://jurnal.mahadalymudi.ac.id/index.php/Al-Nadhair/article/view/56 Sanksi Adat Pengusiran Terhadap Pelaku Pencurian 2024-06-12T12:43:39+07:00 Muhammad Zakki Hasballah [email protected] <p>Dilihat dari satu sisi, seorang pemimpin mempunyai kebijakan untuk memutuskan satu hukum. Namun, di sisi lain banyak sekali kebijakan yang diputuskan oleh seorang pemimpin sangat memberatkan masyarakannya. Atas dasar ini, tergugah hati penulis untuk melakukan sebuah penelitian hukum mengenai sanksi adat pengusiran terhadap kasus pecurian. Apakah dibolehkan dalam syariat atau tidak. Penelitian ini tertuang dalam bentuk risalah yang berjudul “Sanksi Adat Pengusiran Terhadap Pelaku Pencurian (Analisis dan Penerapan&nbsp; <em>Tasharafu al-Imam ‘Ala Ra’iyah Manutun Bi al-Maslahah)”. </em>Dalam Penelitian ini penulis menggunakan pendekatan analisis normatif, dengan teknik pengumpulan data yaitu kajian dokumentasi terhadap literatur yang berkaitan dengan kaidah ini dan hukum ta’zir dari karya-karya fuqaha’ salaf al-shalih, dan teknik analisi data yang digunakan adalah content analisis. Maka jenis penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian kepustakaan (library research). Dari keterangan dalam penelitian ini, penulis dapat menyimpulkan bahwa kaidah <em>Tasarafu al-Imam ‘Ala Ra’iyah Manutun Bi al-Maslahah</em> memiliki ketentuan berupa; Dalam memutuskan satu kebijakan, seorang pemimpin harus memilih perkara yang mempunyai nilai kemaslahatan paling banyak bagi seluruh rakyatnya, serta tidak menimpulkan efek kemudharatan. Adapun hukum penerapan&nbsp; sanksi adat pengusiran bagi pelaku pencurian adalah boleh jika terpenuhi beberapa ketentuan yaitu: 1. Pencuri tidak terpenuhi ketentuan yang harus dihukumi dengan hukuman <em>had</em>, 2. Sanksi yang diberikan tidak boleh melebihi batasan hukuman had, 3. Sanksi tersebut merupakan yang memiliki nilai kemaslahatan paling banyak serta tidak menimbulkan efek kemudharatan dalam masyarakat, 4. Sanksi tersebut merupakan keputusan dari&nbsp; pemimpin atau pengganti dari pemimpin. Seandainya tidak terpenuhi ketentuan di atas maka hukum penerapan sanksi adat tersebut tidak boleh.</p> 2024-06-28T00:00:00+07:00 Copyright (c) 2024 Jurnal Al-Nadhair https://jurnal.mahadalymudi.ac.id/index.php/Al-Nadhair/article/view/54 Landasan Penetapan Istishab Sebagai Sumber Hukum Mazhab Syafi’i 2024-06-11T10:12:33+07:00 Zahrul Mubarrak [email protected] Muhammad Yanis [email protected] Khalilullah [email protected] <p>Pada dasarnya pijakan hukum dalam Islam adalah Al-Qur’an, hadis, ijma dan qiyas. Namun ada satu metode<em> istidlal</em> yaitu <em>istishab</em> yang juga dijadikan sebagai sumber hukum dalam mazhab Syafi’i ketika tidak ada dalil dalam al-Quran, hadis, <em>ijma’</em> dan <em>qiyas</em>. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Wahbah al-Zuhayli dalam kitab <em>Ushul al-Fiqh al-Islamy,</em> Namun ada ulama yang menerima<em> istishab</em> sebagai sumber hukum dan ada juga yang menolaknya. Penelitian ini merupakan penelitian Usul Fiqh dengan menggunakan metode kualitatif. Pendekatan penulisan dalam bentuk deskriptif analisis. Teknik pengumpulan data berupa sagala dokumen dan literatur yang menjelaskan tentang <em>Istishab </em>sebagai sumber hukum dalam mazhab Syafii. Teknik analisis data peneliti menggunakan pendekatan content analisis. Hasil penelitiannya, bahwa; 1) Kedudukan <em>istishab</em> dalam Mazhab Syafi’i bahwa Imam Syafi’i tidak menegaskan secara jelas mengenai <em>istishhab</em> sebagai sumber hukum. Tetapi menurut Al-Muzani <em>istishhab</em> adalah hujjah. 3) Latar belakang penetapan <em>istishab</em> sebagai sumber hukum dalam mazhab Syafi’i adalah: a) Firman Allah SWT dalam Surat Al-An’am ayat 145. b) Sabda Nabi Riwayat Imam Ahmad. c) <em>Ijma’, </em>d) Dalil <em>‘Aqli.</em></p> 2024-06-28T00:00:00+07:00 Copyright (c) 2024 Jurnal Al-Nadhair https://jurnal.mahadalymudi.ac.id/index.php/Al-Nadhair/article/view/52 Analisis Perbedaan Metode Tarjih Ibnu Hajar Al-Haytami Dan Imam Syam Al-Ramli Dalam Hukum Fikih 2024-06-11T10:27:23+07:00 Zulfahmi [email protected] <p>Pada abad ke X H ada dua tokoh dalam mazhab Syāfi’ī yang sering berbeda pendapat dalam menetapkan hukum fikih yaitu Imam Ibnu Hajar dan Imam al-Ramli, kerena keduanya menggunakan metode tersendiri dalam berijtihad. Dari masalah tersebut, penulis ingin meneliti tentang tarjih Ibnu Hajar dan Imam al-Ramli dengan judul ‘ <em>Analisis Perbedaan Metode Tarjih Imam Ibnu Hajar al-Haitami Dan Imam Syams al-Ramli Dalam Hukum Fikih</em>’. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (<em>library research</em>). Jenis penelitiannya adalah kualitatif yang bersifat <em>content analisis. &nbsp;</em>Kesimpulan dalam&nbsp; penelitian&nbsp; ini&nbsp; adalah metode tarjih yang digunakan oleh Ibnu Hajar dan Syams al-Ramli adalah: (1) Pendapat yang terakhir yang dikemukakan oleh Imam Syāfi’ī dengan ketentuan bila diketahui mana pendapat yang terakhir. (2). Pendapat yang dianggap kuat oleh Imam Syāfi’ī. (3). Pendapat yang dirincikan dengan jelas oleh Imam Syāfi’ī diantara dua pendapat. (4). Pendapat yang lawannya berpontensi terjadinya kritikan. (5). Pendapat yang tidak dicantumkan lawannnya pada satu masalah sementara pendapat tersebut juga dikemukakan pada masalah lainnya dengan diiringi lawannnya. (6). Pendapat yang dijadikan jawaban oleh Imam Syāfi’ī Ketika adanya pertanyaan. (7). Pendapat yang sesuai dengan mazhab mujtahid yang lain. Letaknya perbedaan metode tarjih Ibnu Hajar dan Imam al-Ramli yaitu:&nbsp; Ibnu&nbsp; Hajar lebih&nbsp; mendahulukan pendapat&nbsp; yang terakhir dikemukakan oleh Imam Syāfi’ī dari pada pendapat yang dianggap kuat oleh Imam &nbsp;Syāfi’ī, &nbsp;sedangkan &nbsp;Imam &nbsp;al-Ramli &nbsp;lebih &nbsp;mendahulukan&nbsp; pendapat &nbsp;yang dianggap kuat oleh Imam Syafi’i. Faktor terjadinya perselisihan di antara keduanya yaitu; <em>Pertama</em>, <em>khilaf </em>disebabkan kontradiksinya dalil syara’ <em>Kedua</em>, <em>khilaf </em>pada hukum yang tidak ada komentar syara’ dan tidak adanya <em>nash </em>pada hukum tersebut.</p> 2024-06-28T00:00:00+07:00 Copyright (c) 2024 Jurnal Al-Nadhair https://jurnal.mahadalymudi.ac.id/index.php/Al-Nadhair/article/view/51 Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pengaturan Warisan Dalam Sistem Hukum Positif Di Indonesia 2024-06-11T10:09:33+07:00 Ahmad Nidal [email protected] <p>Menurut ketentuan Pasal 833 ayat (1) KUH Perdata, semua ahli waris dengan sendirinya karena hukum memperoleh hak milik atas segala harta kekayaan peninggalan pewaris. Menurut ketentuan Pasal 874 KUH Perdata&nbsp; menentukan bahwa segala harta kekayaan peninggalan pewaris adalah milik semua ahli waris sesudah dikurangi wasiat berdasar pada ketetapan yang sah. Hukum waris adalah suatu rangkaian ketentuan ketentuan di mana berhubung dengan meninggalnya seseorang, akibat akibatnya di dalam bidang kebendaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan warisan dalam sistem hukum positif di indonesia. Kesimpulannya adalah perbedaan utama terletak pada pembagian warisan didalam hukum Islam, aturan pembagian warisan telah diatur secara tegas dalam Al-Quran, sementara hukum positif cenderung memberikan lebih banyak kebebasan kepada individu dalam menentukan pembagian harta warisan melalui pembuatan wasiat. Kemudian konsep pajak warisan tidak ada dalam hukum Islam, sedangkan hukum positif sering menerapkan pajak warisan sebagai mekanisme pengaturan distribusi harta warisan.</p> 2024-06-28T00:00:00+07:00 Copyright (c) 2024 Jurnal Al-Nadhair